SURAT TERBUKA UNTUK SEJAWAT APOTEKER



Sejawat, berikut ini adalah bahan renungan saya selaku seorang apoteker. Apoteker merupakan suatu profesi yang sangat mulia, begitu banyak hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak tergantung dipundaknya. kemampuan seorang  apoteker tidaklah bisa dianggap enteng. Dilapangan, profesi ini masih banyak dibutuhkan seperti pada Rumah Sakit, Industri Farmasi, Perusahaan Jamu, Staff Pengajar, Militer  dan juga apotek.
Bila dibandingkan dengan lulusan profesi lainya seperti Dokter Umum dan Dokter Gigi yang sama-sama Sarjana plus (profesi) seorang apoteker masih punya peluang lebih besar untuk memasuki dunia kerja dibanding profesi lain yang sudah mapan. Tamatan apotekerpun masih jau lebih kecil dibanding profesi kesehatan lain seperti dokter, bidan dan perawat. Hal ini seharusnya membuat kita lebih PD, namun dalam kenyataannya,  para apoteker justru masih memandang sebelah mata akan profesinya sendiri. Sebenarnya kita tidak perlu pesimis dengan profesi kita, malah seharusnya kita bangga.
            
Satu hal yang ingin diungkapkan disini adalah, apakah apoteker itu dikenal oleh masyarakat? Tentunya kita sendirilah yag dapat menjawab. Sangat banyak orang tidak mengenal apa itu profesi apoteker, tapi yang lebih parah lagi adalah sang apoteker sendiri tidak mengenal atau tidak mau kenal dengan profesiya sendiri, sehingga apresiasi masyarakat luas terhadap profesi apoteker sangat kurang karena memang kontribusi apoteker untuk masyarakat luas pun sangat-sangat kurang.
Masyarakat tentunya merasakan sekali kekuranghadiran apoteker. Jarang sekali seorang  apoteker terjun langsung melayani pasien. Di mata mereka, sosok apoteker semakin tidak jelas kedudukan spesifiknya. Dan untuk selanjutnya sedikit banyak masyarakat tentu akan meremehkan peran dan fungsi apoteker di apotek. Profesi mulia malah dijatuhkan oleh sang apoteker sendiri. Kalau kita renungkan lafal sumpah kita, rasanya tidak akan sanggup kita untuk memikul beban seberat itu, tetapi kenapa kini lafal sumpah banyak dianggap main-main
Sejawat, berapakah waktu yang kita alokasikan untuk datang ke apotek? Kadang kala kita sering berbohong, terutama pada hati nurani kita sendiri. Selain kebohongan-kebohongan yang biasa diterjemahkan oleh masyarakat awam, ntah itu disengaja ataupun tidak, paling tidak, kita telah berbohong kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota tempat Apotek tersebut didirikan. Pada Saat mengurus Surat Penugasan (SP) sekaligus SIK, seorang apoteker diharuskan membuat surat pernyataan bahwa dia tidak sedang menjabat sebagai APA di apotek lain atau tidak sedang bekerja di industri farmasi, tapi bagaimana kenyataanya? kita sendiri yang menjawabnya. Bukankah itu nantinya akan jatuh menjadi Pernyataan Palsu
Selain itu sejawat semua, saya merasa kita telah melakukan korupsi setiap bulannya, setidaknya kita telah melakukan korupsi pada Pemilik Sarana Apotek (PSA). Dengan hitung-hitungan gaji sesuai rekomendasi ISFI terbaru seharusnya kita memperoleh gaji yang layak jika datang full satu bulan penuh. Akan tetapi jika kita hanya “bertandang” ke apotek satu kali dalam sebulan saja, dengan kita misalkan standar gaji ISFI Rp. 1.500.000, maka  gaji yang berhak kita terima hanya 1/20 x 1.500.000 = 75.000. Padahal yang saya tahu, apoteker tidak pernah dibayar kurang. “bertandang” ke Aptek satu kali sebulan, gaji yang diterima tetap dan tidak pernah dipotong,bahkan bias lebih dari itu tergantung negosiasi. Kita bisa menghitung sendiri berapa rupiah yang telah kita korupsi setiap bulannya. Mungkin adapula diantara kita yang berdalih, “Ah, PSA saja enjoy kok dengan ada atau tidaknya kita di Apotek toh apotek tetap jalan”. Sejawat, jangan kita mencari pembenaran akan tindakan kita, kita tentu bisa bertanya pada diri kita sendiri


Sejawat bisa bayangkan jika kita “bertandang” hanya satu kali sebulan ke apotek, sedikit banyak kita telah menyakiti hati para Asisten Apoteker (AA) kita di apotek. Kita bisa merasakan bagaimana perasaan para AA yang datang ke apotek setiap hari, berkutat dengan segala tetek bengek apotek, pembelian, pembayaran ke PBF, resep dan lain-lain. Duduk dengan manis di apotek dari pagi hingga sore terkadang lembur bahkan adakalanya hari libur pun dihabiskan di apotek. Tapi, uang yang diterima masih saja lebih kecil dibanding uang “bertandang” apoteker.
Banyak sebenarnya yang harus kita perhatikan saat kita ke apotek. Bagaimana Dexamethason dipakai untuk obat penambah nafsu makan, bagaimana Amoxicillin laris manis seperti kacang goreng, bagaimana kita melihat si pasien dengan obat yang dia makan, apakah obat itu sudah sesuai dengan keluhanya, bagaimana banyaknya pasien yang bingung mau makan obat pilek apa, atau bagaimana membedakan jamur dari eksem... dan masih banyak lagi. Bukankah tanggungjawab keprofesian seorang Apoteker adalah menjamin obat yang sampai ke tangan pasien adalah obat yang benar sesuai dengan penyakit yang dideritanya, plus menyampaikan berbagai informasi obat ybs, seperti: dosis, cara pakai, cara penyimpanan dll. Para pasien mengharapkan kesembuhan dengan membeli obat di apotek kita. Nah kalau kita datangnya hanya sekedar menandatangani SP plus mengambil gaji, atu hanya sekedar setor wajah, apakah itu tidak berarti kita telah mengkhianati pasien kita sendiri?
Di Indonesia, kenyataan menunjukkan bahwa apoteker sebagai peran sentral dan bertanggung jawabnya penuh dalam memberikan informasi obat kepada masyarakat, belumlah melaksanakannya dengan baik, bahkan dapat disebut kesenjangan ini terlalu lebar. Berdasarkan hasil wawancara di 19 apotek di Jawa beberapa waktu lalu, terungkap bahwa sekitar 50 persen pengunjung belum pernah bertemu dengan apotekernya, dan hanya 5,3 persen apoteker yang memberikan informasi obat kepada pembeli

Sebuah seminar yang diadakan oleh IDI di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta mengangkat tema,” Reformasi Sistem Pelayanan Obat pada Dokter Umum/ Dokter Layanan Primer/ Dokter Keluarga: Dispensing, Mengapa Tidak?” Inti dari Seminar ini adalah ingin meng-GOAL-kan proyek dokter untuk dapat mengadakan Dispensing Obat, alias menyerahkan obat secara langsung kepada pasien, tanpa apoteker.
Berbagai alasan yang dikemukakan adalah:
1. Keinginan pasien untuk mendapatkan pelayanan yang cepat, komprehensif, dan tidak
    perlu membeli obat di tempat lain, serta dapat berkonsultasi langsung dengan
    dokternya mengenai obat yang diterimanya.
2. Keharusan untuk membeli obat berdasarkan resep obat yang diberikan dokter praktek,
    seringkali dipersepsikan sebagai pelayanan dokter yang kurang komprehensif. Apalagi
    jika obat yang diresepkan tidak tersedia di apotek, apoteknya tutup, atau apoteknya
    sulit terjangkau
Kita menyadari bahwa, yang berhak menyerahkan obat adalah apoteker, Kalau proyek ini GOAL,,,maka apalagi yang akan kita lakukan???? Tentu semuanya akan dimbil alih oleh dokter.Semuanya tentuudah diambil sama Dokter,,,Jangan sampai kita terlambat dan membiarkan semua ini terjadi,,,

Ada pepatah yang mengatakan tidak ada yang tidak berubah di dunia ini. Yang tetap tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Artinya semuanya berubah. Berkaitan dengan masalah di atas, maka bukan suatu hal yang terlambat bagi pihak-pihak yang terkait untuk berbenah diri kembali menempatkan pada posisi dan kedudukannya sesuai dengan tanggungjawabnya.




Bersama ini saya menghimbau kepada kita semua,
1.    Kita harus mulai mengambil sikap,untuk membenahi cara pandang kita terhadap profesi ini.
2.     Kita harus menyuarakan bahwa jalan yang lebih baik adalah membuat kepak sayap profesi farmasi dan kedokteran menjadi sinergis dan saling menopang, karena kalau tidak demikian, maka kita akan makin terpecah, dan tidak akan pernah berjumpa pada satu titik temu,
Kalau profesi kedokteran dan Farmasi saling menopang dan saling mengcover sesuai dengan jobdesnya masing-masing, ,,maka saya yakin,,,akan terjadi kemajuan pesat pada bidang pelayanan kesehatan di Indonesia.
Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger

0 comments:

Post a Comment