Dalam pemberitaan resmi Badan POM tentang penarikan 22
merek obat/obat tradisional/supplemen makanan disebutkan bahwa sangsi yang
diberikan kepada produsen adalah pencabutan nomor registrasi. Dengan demikian,
artinya, produk-produk tersebut dilarang beredar lagi di pasaran. Selesaikah
masalahnya ?
Sesungguhnya obat adalah racun, hanya bila pemakaian dan
dosisnya sesuai, obat bermanfaat bagi tubuh. Karena sifatnya yang demikian,
Badan POM sebagai institusi yang berwenang mengawasi peredaran obat di
Indonesia, menerapakan metoda yang ketat untuk memantau setiap obat beredar
yang terdaftar agar konsumen terlindungi.
Penambahan atau pencampuran Sildenafil Sitrat atau
Tadalafil, yang jelas-jelas diluar kandungan yang disetujui, adalah
pelanggaran yang sangat serius. Produsen harus melaporkan dan meminta
persetujuan Badan POM terlebih dahulu. Seandainya Badan POM mengijinkan, pasti
penggolongan obatnya berubah menjadi obat keras.
Dalam kasus penarikan 22 merek diatas, secara logika, penambahan Sildenafil Sitrat atau Tadalafil dilandasi kepentingan bisnis. Dari nama dagang yang disandang ke 22 merek tersebut, rata rata mereka memposisikan dirinya sebagai penambah vitalitas atau stamina pria. Meski demikian konotasinya lebih kearah urusan syahwat laki-laki. Mayoritas konsumen akan mengonsumsi obat dimaksud bila yang bersangkutan mempunyai hajat. Agar produsen bisa mendeliver presepsi yang diinginkan konsumen maka mereka menambahkan Sildenafil Sitrat atau Tadalafil.
Tindakan penambahan Seldinafil Sitrat atau Tadalafil adalah
bentuk pelanggaran berat yang disengaja. Konsumen tidak pernah tahu apalagi
mengerti seberapa besar dosis yang ada dalam produk tersebut. Konsumen juga
tidak tahu apa kontra indikasi atau efek sampingnya. Singkat cerita, konsumen
dalam posisi yang tidak aman. Dalam konteks ini obat lebih terlihat sebagai
racun.
Sangsi berupa pencabutan nomor registrasi oleh Badan POM
sudah tepat. Konsumen akan terlindungi karena merek tersebut tidak akan beredar
lagi secara resmi. Namun apakah sangsi tersebut efektif untuk menimbulkan efek
jera ?
Kita tahu bahwa kasus pencampuran bahan kimia obat ke dalam
formula jamu sering terjadi dan bahkan berulang. Kalaupun nomor registrasinya
dibekukan, merek-merek lain bermunculan. Ibarat peribahasa, patah tumbuh hilang
berganti. Seolah penyelesaian terhadap kasus ini tidak pernah menyentuh akar
permasalahannya.
Untuk kepentingan perlindungan konsumen maka perlu
dipertimbangkan adanya sangsi yang lebih keras. Dalam kaitannya dengan profesi
bentuk sangsi yang efektif adalah pencabutan surat ijin kerja bagi apoteker
penanggungjawab produksi. Apabila produk dibatalkan nomor registrasinya karena
kesalahan produsen maka surat ijin kerja apoteker penanggungjawab produksi juga
ikut dibatalkan. Dalam kaitannya dengan bisnis bentuk sangsinya adalah
pencabutan ijin produksi. Produsen yang melakukan pelanggaran semacam itu
dicabut lisensi kegiatan produksi untuk seluruh produk yang dihasilkan, tidak
terbatas pada produk yang bermasalah saja.
Dengan adanya sangsi yang demikian maka baik apoteker
penanggungjawab produksi maupun produsen akan berpikir ulang apabila akan
melakukan pelanggaran. Dan yang lebih penting lagi keselamatan konsumen bisa
dijamin dan fungsi apoteker sebagai pelindung (guardian) konsumen obat
terwujud dengan paripurna.